Membangun Mental Tangguh dengan Pendekatan Qur'ani
| Terbit | : | 23-10-2025 |
| Penulis | : | ata |
Artikel
"Anakku kok sekarang jadi lebih sering murung, ya?"
"Dia jadi gampang cemas kalau mau ujian."
"Di media sosial kelihatannya ceria, tapi di rumah lebih banyak diam di kamar."
Pernahkah Ayah dan Bunda merasakan kekhawatiran serupa? Jika iya, Anda tidak sendirian. Masa remaja adalah fase transisi yang penuh gejolak. Tuntutan akademik, tekanan pergaulan, perbandingan di media sosial, hingga kecemasan akan masa depan adalah hal-hal nyata yang mereka hadapi. Istilah seperti "insecure", "overthinking", dan perasaan "nggak oke" menjadi bagian dari percakapan mereka sehari-hari.
Data survei nasional I-NAMHS (Indonesia National Adolescent Mental Health Survey) tahun 2022 menunjukkan bahwa 1 dari 3 remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental. Ini bukan lagi isu yang bisa kita abaikan. Lantas, sebagai orang tua, bagaimana kita bisa membantu mereka membangun mental yang tangguh?
Islam, melalui Al-Qur'an dan Sunnah, telah menyediakan seperangkat "alat" yang luar biasa untuk menempa ketangguhan jiwa. Ini bukan tentang menafikan perasaan mereka, melainkan memberi mereka jangkar yang kuat untuk berlabuh di tengah badai kehidupan.
Berikut adalah beberapa pilar pendekatan Qur'ani untuk membangun mental yang tangguh.
1. Mengajarkan Tawakal sebagai Penawar Cemas
Kecemasan seringkali lahir dari ketakutan akan masa depan yang tidak pasti. Islam mengajarkan konsep Tawakal, yaitu berusaha sekuat tenaga, lalu menyerahkan hasilnya dengan ikhlas kepada Allah.
Seperti firman Allah dalam Surat Ali 'Imran ayat 159, "...Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah." Ajarkan pada anak bahwa tugas mereka adalah belajar dan berusaha sebaik-baiknya. Soal hasil, biarlah Allah yang menentukan yang terbaik. Ini membebaskan mereka dari beban ekspektasi yang berlebihan dan rasa cemas akan kegagalan.
2. Membangun Resiliensi Melalui Syukur
Media sosial seringkali menjadi panggung perbandingan yang tak ada habisnya, memicu rasa insecure dan merasa kurang. Al-Qur'an menawarkan penawarnya: Syukur.
"Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu..." (QS. Ibrahim: 7). Ajak anak untuk fokus pada apa yang mereka miliki, bukan pada apa yang tidak mereka punya. Latihan sederhana seperti menulis tiga hal yang disyukuri setiap malam terbukti secara ilmiah dapat meningkatkan optimisme dan mengurangi gejala depresi.
3. Menemukan Ketenangan dalam Zikir dan Salat
Saat pikiran terasa kalut dan hati tidak tenang, di situlah peran ibadah menjadi sangat vital. Salat dan dzikir adalah bentuk meditasi dan mindfulness yang paling agung.
Ingatlah firman Allah, "...Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram." (QS. Ar-Ra'd: 28). Ajarkan pada Ananda bahwa salat bukan sekadar kewajiban yang menggugurkan dosa, tetapi sebuah "oase" di tengah hari. Momen untuk berhenti sejenak, menenangkan pikiran, dan mengadukan segalanya kepada Sang Pencipta.
4. Menguatkan Jiwa dengan Ukhuwah dan Komunitas
Manusia adalah makhluk sosial. Rasa kesepian adalah salah satu pemicu terbesar masalah kesehatan mental. Islam sangat menekankan pentingnya Ukhuwah atau persaudaraan.
Merasa menjadi bagian dari sebuah komunitas yang peduli dan suportif adalah pelindung terbaik bagi jiwa. Di dalam komunitas yang sehat, anak merasa aman untuk bercerita, berani menjadi dirinya sendiri, dan tahu bahwa ada teman serta pembimbing yang siap membantu saat ia jatuh.
Lingkungan yang Menumbuhkan, Bukan Hanya Mengajar
Membangun kebiasaan-kebiasaan di atas di rumah tentu bisa, namun seringkali tidak mudah karena berbagai distraksi. Di sinilah peran lingkungan pendidikan menjadi sangat krusial.
Di SMPIT Cahaya Insani Temanggung, kami tidak hanya fokus pada pencapaian akademis. Kami berikhtiar membangun sebuah ekosistem dan komunitas yang secara sadar dirancang untuk menempa mental para siswa. Kehidupan Berasrama mengajarkan mereka arti ukhuwah secara nyata. Mereka belajar berbagi, berempati, dan saling mendukung di bawah bimbingan para musyrif/musyrifah (pembina asrama) yang berperan sebagai kakak dan sahabat.
Rutinitas Ibadah seperti salat berjamaah dan dzikir bersama menjadi kebiasaan yang membentuk ketenangan jiwa. Program Bimbingan Konseling yang proaktif dan Islami menyediakan ruang aman bagi siswa untuk berkonsultasi mengenai tantangan yang mereka hadapi.
Jika Ayah dan Bunda mencari sebuah "rumah kedua" di mana Ananda tidak hanya tumbuh cerdas secara akademis, tetapi juga kuat secara mental, tangguh spiritualnya, dan dikelilingi oleh sahabat-sahabat saleh, kami siap menjadi partner Anda.